Suka Mempersoalkan Agama Itu Bahaya

Jika Allah menghendaki kebaikan untuk kita maka DijadikanNya kita mudah dalam memahami agama. Namun ketika kita selalu merasa harus bertanya dan bertanya meski hanya untuk persoalan yang teramat mudah dipahami maka waspadalah, jangan-jangan itu tanda kehancuran. Terlebih jika banyak bertanya (membahas) tersebut dimaksudkan hanya untuk berolok-olok dan memprotes kebenaran.
Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar. (HR. Bukhari)
Sungguh Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk mentaati hukum-hukum-Nya. Apa yang Allah perintahkan hendaklah kita kerjakan semampu kita dan apa yang Dia larang haruslah kita tinggalkan. Tidak perlu banyak protes (bertanya) dan mengkritisi sunnah Rasulullah dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ” Apa saja yang aku larang bagi kamu hendaklah kamu jauhi, dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu maka lakukanlah sesuai kemampuanmu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena mereka banyak bertanya (mempersoalkan agama) dan menyelisihi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh).” (HR. Bukhori dan Muslim)
“Banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka”. Dua kelakuan inilah yang menyebabkan kehamcuran umat-umat sebelum kita. Dan kehancuran pula tentunya jika umat di jaman sekarang melakukan dua hal tersebut. Terlalu banyak bertanya yang dimaksud adalah ‘mempersoalkan’ masalah-masalah agama yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan.
Dalam konteks berfacebook ria, sebaiknya hal ini juga kita hindari. Misalnya dengan memposting hal-hal yang berkaitan dengan agama untuk dipersoalkan (dibahas) bahkan kemudian dijadikan bahan perdebatan yang tidak ada gunanya. Antara satu dengan lainnya saling memancing komentar, lalu dari komentar itu saling bantah yang panjang tak berujung.
Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja””.
Berapa banyak kita melihat, hal-hal yang sudah qath’i (pasti) dalam hukum agama, atau hadits dan ayat  yang sudah ‘muhkamat’ kemudian dijadikan bahan untuk saling beradu argumen. Tak jarang pula dilakukan tafsiran-tafsiran dengan melibatkan kajian filsafat dan permainan bahasa, sehingga kalimat bathil bisa dilarikan ke pengertian baik dan sebaliknya kalimat yang haq dilarikan ke pemahaman yang bathil.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]
Bagi sebagian orang mungkin ini mengasyikkan, menunjukkan kelihaian berkata-kata, atau bahkan menumbuhkan penciteraan bahwa yang bersangkutan adalah seorang yang cerdas. Ini tentu berbahaya, karena bisa menimbulkan fitnah di satu sisi dan menimbulkan kerancuan hukum di sisi yang lain .
Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Umar pernah berkata kepadaku, ‘Tahukah engkau perkara yang merobohkan Islam?’ ‘Tidak! Jawabku.’ Umar berkata, ‘Perkara yang merobohkan Islam adalah ketergelinciran seorang alim, debat orang munafik tentang Al-Qur’an dan ketetapan hukum imam yang sesat’.” (Shahih, HR Ad-Darimi [I/71], al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih [I/234], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [1475], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [IV/196]).
Sering manusia tak menyadari ini. Mereka menikmati saya adu argumen dan bersoal jawab dalam hal agama. Malah tak jarang bersoal jawab ini dibumbui oleh guyonan dan olok-olok, bisa pula dibumbui hujatan dan caci maki. Suasana menjadi tak terkendali, selain rentan menimbulkan ketersinggungan juga mudah menyebabkan canda over dosis. Apalagi jika canda dan olok-olokan tersebut menyangkut soal agama.
“Sesungguhnya berolok-olok dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasul-Nya mengeluarkan seseorang dari agama karena pondasi agama ini dibangun di atas pengagungan terhadap Allah, pengagungan terhadap agama dan Rasul-RasulNya. Maka berolok-olok dengan perkara tersebut menafikan pondasi agama dan benar-benar membatalkannya.” (Tafsir As Sa’di, At Taubah: 65-66)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66)
Astaghfirullah… Tampaknya bercanda dan berolok-olok soal agama adalah hal yang ringan, namun ternyata sangat berbahaya bagi eksistensi kita sebagai seorang mukmin. Ini bukan perkara sepele saudaraku… Ini adalah perkara besar yang sangat membahayakan.
Oleh sebab itu alangkah baiknya kita menjaga diri dari perbuatan yang berbahaya ini. Janganlah mengambil resiko besar hanya untuk sebuah kesenangan yang tak seberapa. Nikmat memang, ketika kita bisa saling beradu argumen meski kita tak menyebutnya sebagai debat. Kita menyangka itu adalah jalan untuk menjalin silaturrahim sekaligus menunjukkan kemampuan kita berlogika dan bermain kata-kata. Namun sayangnya… ITU BERBAHAYA.
Wallahu a’lam
20/01/2014
JENDELA NURANI
 
(Abdillah Syafei)

www.abdillahsyafei.com 2022