Orang yang marah-marah dan melontarkan cacian kepada mereka yang berbeda keyakinan tanpa sebab yang syar’i, sebenarnya adalah orang yang (menurut saya) tak sabar dalam berdakwah. Ia menutupi ketidakmampuan dirinya dalam menjelaskan kebenaran dengan menyalahkan orang lain.
Saudaraku, saya sangat tidak setuju dengan ungkapan yang mengatakan bahwa “jangan merasa paling benar”. Ya, ungkapan tersebut menurut saya adalah ungkapan yang menyesatkan dan bisa merontokkan keimanan manusia, keyakinan apapun yang dianutnya.
Sebagai orang yang beriman (menurut agama apapun) seharusnyalah merasa apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang paling benar. Karena sungguh suatu kebodohan jika kita meyakini sesuatu yang kita sendiri tidak percaya bahwa keyakinan tersebut paling benar.
Manusia yang cerdas tak akan memeluk suatu keyakinan jika keyakinan itu tidak benar. Adalah sebuah kerugian jika kita memutuskan sesuatu sementara kita tak percaya bahwa keputusan tersebut adalah paling benar, apalagi ini menyangkut keimanan.
Saya berpendapat bahwa merasa paling benar itu adalah wajib menurut agama maupun logika. Agama mana yang tidak meng-klaim bahwa keyakinan dan ajarannya adalah paling benar dan manusia berakal mana yang mau meyakini sesuatu yang dia tak percaya bahwa keyakinan itu benar.
Bahkan jika anda seorang atheis yang tak percaya adanya Tuhan sekalipun, pastilah anda yakin bahwa kepercayaan anda tersebut adalah paling benar, iyakan?
Yang tidak boleh, menurut saya, adalah ketika kita meyakini kebenaran ajaran kita seraya juga menistakan ajaran orang lain. Artinya, yang jadi masalah adalah bagaimana akhlak kita sebagai orang yang meyakini bahwa agama atau kepercayaan kita adalah paling benar.
Yang tak boleh terjadi adalah kita mencaci maki keyakinan orang lain meskipun kita percaya bahwa keyakinan kitalah yang paling benar. Jikapun dalam hati kita meyakini bahwa orang lain yang tak sekeyakinan dengan kita adalah sesat, maka selayaknyalah kita mengasihani dia, bukan malah mencela dia.
Mari kita berbaik sangka, bahwa saudara kita yang tak sekeyakinan dengan kita itu tentulah sebenarnya tidak kepingin tersesat. Kalaupun dia masih menganut keyakinan yang salah atau sesat, tentu ada yang melatarbelakangi. Boleh jadi karena ketidaktahuan (kebodohan) nya, boleh jadi karena belum sampainya argumen yang benar kepada dia, atau boleh jadi karena masih ada syubhat (kerancuan berpikir) pada diri orang tersebut. Dan yang paling subtantif adalah bahwa dia belum memperoleh hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau kita sudah mau berbaik sangka seperti di atas, maka yang harus kita lakukan adalah mengasihani dia dan berupaya mendakwahi dia agar dia mengerti kebenaran yang sejati. Dan ini butuh kesabaran serta metodologi yang tepat. Jangan sampai kita menyampaikan kebenaran dengan cara-cara yang tidak benar. Jangan sampai kebenaran dipandang buruk di mata orang lain gara-gara perilaku kita yang buruk dalam menyampaikannya.
Saudaraku, kebenaran itu sendiri sudah sangat berat diterima oleh hawa nafsu manusia, janganlah pula kita sampaikan dengan cara-cara yang makin memperberat untuk diterima.
Ini pendapat saya… Siahkan jika ada yang berpendapat lain 🙂
Samarinda 9 mei 2013
Abu Muhammad Syafei
Abu Muhammad Syafei