Susah untuk tidak sedih serta terharu, ketika kita berbicara soal pengorbanan. Serasa air mata ini ingin tumpah ruah, saat tangan mengetik tulisan yang mengulas makna pengorbanan.
Ya, terlalu banyak kisah pilu menyayat hati dari orang-orang istimewa dalam hidup ini. Yang mereka telah menunjukkan semangat berkorbannya tanpa pamrih dan tanpa berharap pujian serta balasan.
Ada Nabi dan orang-orang shaleh yang menghabiskan usianya hanya untuk memikirkan dan memperjuangkan umat termasuk kita. Ada para ulama, asatidz, serta mujahid yang berpeluh-peluh serta berdarah-darah mengukir bakti fi sabilillah.
Dan di tataran masyarakat awam, kita dapat menyaksikan di berbagai tempat para pejuang kehidupan yang dengan rela berkorban menghidupi keluarga mereka masing-masing. Termasuk diantaranya adalah ayah dan bunda kita.
Ya, ayah dan bunda kita adalah bagian dari pejuang gigih yang mengorbankan hidupnya demi membesarkan, menafkahi, serta menyenangkan kita. Bahkan demi kesenangan anaknya tak jarang mereka harus menebus dengan rasa malu dan penderitaanya sendiri.
Pengorbanan dalam makna yang luas membuka fakta akan bagaimana nurani manusia memiliki cinta yang teramat dalam lagi luas. Anugerah terindah yang Allah berikan pada batin setiap insan. Ia hadir dari ilham yang Allah berikan ke dasar jiwa mahluknya. Bahkan bukan hanya pada kita manusia, binatang saja diberikanNya.
Pengorbanan adalah amaliah ‘tanpa logika’ yang bisa meruntuhkan tembok egoisme manusia sekeras apapun hatinya. Lihatlah bagaimana seorang jambret atau copet yang mengambil resiko dibakar massa demi mencari sekaleng susu untuk bayinya. Salah? Ya, memang itu perilaku salah. Namun justeru dari situ pula kita mendapat pelajaran betapa ‘jiwa berkorban’ ternyata memang sering tak masuk logika.
Bila dalam contoh si jambret atau copet tadi, kita bisa melihat bagaimamana ajaibnya ‘jiwa berkorban’ seorang ayah yang rela dibakar api dunia hingga (mungkin) api neraka hanya demi anak bayinya. Sayang disayang memang, dia telah mengaplikasikan jiwa berkorbannya dengan cara yang salah.
Saudaraku, kembali ke ayah dan bunda kita. Setiap anda dan juga saya pasti memiliki kenangan masing-masing soal mereka. Soal pengorbanan ayah dan bunda yang bisa jadi begitu membekas dalam jiwa atau sebaliknya telah lama terhapus dari ingatan kita. Bahkan sekiranya anda seorang yang sejak kecil ditinggalkan atau ditelantarkan oleh orang tua, yakinlah pasti kedua orang tua pernah melakukan pengorbanan yang besar buat anda. Hanya saja, mungkin nilai pengorbanan itu sirna dan hilang begiti saja karena tertutupi banyaknya kesalahan yang dilakukannya.
Begitulah, pengorbanan memang (sekali lagi) sering tak masuk logika. Bahkan saking anehnya, sebuah pengorbanan bisa saja diterjemahkan sebagai sebuah kedzaliman oleh manusia yang berbeda. Atau bisa pula sebaliknya.
Yang jelas, jika kita mau menyelami ke dasar jiwa dan nurani kita masing-masing, setiap kita pun pasti bisa merasakan bahwa sejahat-jahatnya diri kita, ada waktu dan keadaan dimana semangat berkorban menggemuruh di dalam jiwa.
Tinggal sekarang bagaimana kita menyalurkan semangat berkorban itu ke tempat dan cara yang mulia.
Wallahu a’lam
Kamis, 9 Dzulhijah 1438 H
JENDELA NURANI
(Abdillah Syafei)