Suatu ketika seorang wartawan pemula menulis berita yang menyerang pemerintah kabupaten A. Dia menulis judul besar di korannya: “50 Persen Pejabat Kabupaten A Korupsi”.
Kontan esok paginya bupati di kabupaten tersebut marah-marah dan menelpon pemimpin redaksi. Ia mengancam bila berita tersebut tidak dirubah dengan isi yang sebaliknya maka sang wartawan akan dituntut ke jalur hukum dan kontrak ratusan juta dengan koran yang selama ini terjalin akan diputus.
Sang wartawanpun panik. Ia sangat ketakutan. Selain takut akan dipenjarakan, ia juga tidak mau dipecat dari koran tempatnya bekerja. Maka buru-buru dia meminta maaf dan membujuk sang pemimpin redaksi agar jangan memberhentikannya dari pekerjaan sebagai jurnalis.
Namun bagaimanakah sang pimred menanggapinya? Dengan tersenyum dan sikap santai dia menenangkan si wartawan. Dia justeru memuji keberanian dan idealisme anak buahnya dalam menyuarakan kebenaran.
“Tenang saja kamu,” ujar sang pimred. “Saya justeru bangga karena memiliki anak buah yang berani menyuarakan kebenaran. Namun saya ingin mengajarkan kepadamu bahwa benar saja belum cukup, kamu harus punya strategi yang jitu dan kepandaian memilih diksi dalam memperjuangkan kebenaran tersebut.”
Pimred itupun lalu merubah sendiri berita dan judulnya untuk terbitan esok hari dengan isi yang bertolak belakang dari berita kemarin yang ditulis anak buahnya, sebagai klarifikasi.
Dan keesokan harinya sang bupati yang kebetulan hasil “money politic” itupun dengan gembira menelpon si pimred. Ia berterimakasih karena berita sebelumnya yang menyudutkan pihak Kabupaten telah diralat dengan isi dan judul berita yang sebaliknya. Bahkan ia berjanji akan memberikan kontrak yang lebih besar sebagai konpensasi atas berita klarifikasi yang membuatnya senang hari ini.
Sementara itu dengan rasa penasaran yang amat sangat, wartawan pemula yang sangat idealis pun buru-buru membuka koran terbitan hari ini. Dia penasaran, berita apa yang ditulis oleh sang pimred hingga bupati korup itu senang sekali membacanya?
Ternyata setelah dibaca dengan seksama, tidak ada isi berita yang berbeda dengan apa yang dia tulis sebelumnya. Hanya judulnya saja yang sedikit dirubah. Bila sebelumnya judul berita berbunyi “50 Persen Pejabat Kabupaten A Korupsi” yang hari ini judulnya diralat menjadi; “Ternyata 50 Persen Pejabat kabupaten A Tidak korupsi”.
Cerita yang kurang lebih sama seperti di atas, sudah puluhan tahun silam saya dengar. Saat itu saya sendiri masih baru menjadi wartawan di sebuah koran harian. Dan cerita (anekdot) ini juga hampir selalu saya sampaikan saat memberikan materi jurnalistik di berbagai tempat.
Ada pesan sederhana namun penting bagi penulis dan jurnalis pemula. Yakni soal pentingnya pemilihan diksi dalam mengungkapkan sebuah pokok pikiran pada narasi atau berita yang kita tulis.
Sebuah realita bisa menghasilkan efek respon yang tidak sama bahkan bertolak belakang hanya karena pemilihan diksi yang berbeda. Mengapa demikian? Karena setiap kata itu memiliki efek yang berbeda pada respon bawah sadar manusia.
Misalnya? Kata kurus, krempeng dan langsing sebenarnyakan memiliki arti yang sama. Namun ia mendapat respon yang berbeda pada pikiran bawah sadar manusia. Apalagi bila anda seorang wanita yang bertubuh kurus… Jujur saja, lebih senang disebut kurus, kerempeng, ataukah langsing?
Salam literasi.
Samarinda 30 Juni 2021