Sejak jaman prasejarah bahkan setelah hadirnya Islam, sifat-sifat hewan sering dijadikan simbol. Tapi tidak selalu negatif, seperti misalnya gelar Sayidina Umar bin Khattab yang digelari “Singa padang pasir”. Ada Abu Hurairah (bapaknya Kucing) dan lain sebagainya.
Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan orang-orang yang lalai dengan “binatang ternak”
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raaf: 179)
Namun memang dalam tradisi umat manusia kadang sifat buruk seseorang diumpamakan juga dengan binatang seperti “bagai musang berbulu domba” atau yang kemaring ramai menjelang pemilu “cebong dan kampret”. Biasanya perumpamaan binatang kepada manusia adalah dalam konteks “sifat” atau “tabiat” nya.
Wallahu a’lam
😀