Sebenarnya di akun baru medsos (facebook) saya berusaha menghindari “perdebatan” soal-soal keagamaan, namun sayangnya selalu saja ada godaan dari orang-orang yang tidak rela berbeda paham. Orang-orang yang bergampang-gampang memperhinakan siapapun di luar kelompoknya. Dan selalu usil dengan pemahaman orang lain.
Persoalan yang tidak mereka ketahui langsung dicap bid’ah. Yang tidak sama dengan mereka dibilang bukan ahlussunnah. Dan celakanya para ulama yang sangat dimuliakan di kelompok lain mereka bodoh-bodohkan dan dijatuhkan kehormatannya.
Sebagai muslim yang punya keyakinan dan amalan yang dipegang teguh saya tentu fokus dengan yang saya yakini saja. Silahkan muslim lain yang berbeda madzhab untuk berkeyakinan dan beramal dengan amalnya sendiri. Ya, tidak perlu saling hujat dan caci. Toh kita punya argumentasi masing-masing.
Meskipun pastinya saya meyakini argumentasi anda salah dan sebaliknya anda tentu juga menganggap argumentasi saya tidak benar. Tidak masalah dan tidak boleh perbedaan itu menyebabkan kita bermusuhan.
Pokoknya “Lanaa a’maluna wa lakum a’malukum” ( bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian”. Selesai… Damai… ❤
Namun sayangnya masih ada saja di abad ke 15 hijriyah ini orang-orang menjijikan itu, bahkan levelnya ustadz, yang mulutnya tajam dan kotor. Dengan ringan lisannya memvonis sesat kepada kami dan siapapun yang berbeda pemahaman. Padahal itu perbedaan yang sudah selesai dibicarakan oleh para ulama besar jaman dulu.
Selesai disini artinya selesai disimpulkan bahwa permasalahan-permasalahan itu tidak bisa disamakan karena semua sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dan masing-masing dipegang oleh ulama ahlussunnah.
Jika ulama besar jaman dulu saja sudah tidak bisa sepakai bagaimana mungkin kita yang bukan ulama besar dan hidup di akhir jaman ini bisa sepakat? Pilihan kita agar umat ini damai ya tinggal BERTOLERANSI dan tidak saling menghina apagi menyesatkan.
Maka, menyikapi kelompok yang merasa paling nyunnah, paling benar dan menuduh kita yang bukan kelompoknya sebagai ahli bid’ah serta sesat, saya hanya bisa melayani sikap itu sesuai kadar permusuhan yang mereka ‘jual’ kepada kita.
Jadi, sekarang saya sudah ogah bermanis-manis bahasa dengan mereka. Mereka menuduh sesat ya sudah, tidak usah ditemani, tidak usah dibaik-baiki. Tidak usah menjilat dengan memuji-muji mereka. Mereka memusuhi kita ya kita layani saja sesuai kebutuhannya. Ngapain juga takut dengan mereka?
Biar teman, keluarga atau kerabat sekalipun, kalau sudah terjangkit paham berbahaya itu harus dijauhi. Kecuali ia masih punya pikiran yang terbuka dan tidak fanatik buta dengan ajaran “vonis mabok” nya itu.
Wallahu musta’an