Seorang web developer kadang membeli paket hosting plus domain tak sampai Rp.500 ribu pertahun, lalu ia menjual website yang dibuatnya di atas 1 juta bahkan sampai puluhan juta.
Apakah dia menipu?
Tentu saja tidak. Web developer (penyedia jasa pembangunan website) tersebut tidak sedang menipu. Karena ia bukan seorang makelar yang sekedar menjadi perantara antara klien (orang yang memberi proyek pembuatan website) tapi juga sebagai ahli yang membangun website sesuai keinginan dan kebutuhan si klien di atas lahan hosting yang dipesannya.
Sedangkan makelar jual beli saja tidak bisa disalahkan bila ia menjual sutu produk (termasuk website) kepada orang lebih mahal dari harga beli. Wajar bila dia mencari untung. Apalagi ini bisnis jasa, sebuah website bahkan hanya domainnya saja bisa naik puluhan hingga ratusan kali lipat bila domain yang dijualnya sangat dibutuhkan.
Kalau diibaratkan pebisnis rumah, maka si web developer itu seperti orang yang menyewa sebidang lahan, lalu membuat rumah-rumah petak di dalamnya. Nah, bila kemudian dia mengambil untung dengan menghitung bukan hanya sekedar ongkos sewa lahan, tapi juga hal lain yang urgen dalam pembangunan web dimaksud, maka itu adalah wajar.
Misalkan ia menyewa sebidang lahan seharga Rp.1 juta pertahun, untuk usaha kontrakan atau penginapan. Lalu di atas lahan itu ia bangun rumah dengan petak-petak kamar dalam jumlah banyak, dan disewakan kepada pengontrak. Itu sangat normal.
Tidak lucu bila kemudian pengontrak menganggap si pemilik kos atau kontrakan itu telah memanipulasi atau menipu mereka lantaran harga sewa kamar atau petak-petak yang dibuat berkali-kali lipat lebih mahal dari biaya (modal) ia mengontrak tanah/lahan.
Demikianlah pula yang terjadi di dunia hosting dan web developer. Seorang web developer biasanya menyewa hosting dan domain ke perusahaan penyedia hosting. Ia membangun website sebagaiman keinginan sang klien, bahkan ia menjaga (mengontrol) kinerja dan keamanan situs tersebut selama sampai habis kontrak (biasanya 1 tahun dan diperpanjang kemudian).
Maka sungguh masuk akal bila harga kontrak website yang dia ajukan bukan sekedar biaya hosting semata. Ia juga harus menghitung jasa merancang (desain), membangun, dan memelihara keamanannya. Semua itu membutuhkan keahlian, kesabaran dan ketekunan yang mengorbankan cukup banyak perhatian. Apalagi bila dalam pembangunan website itu melibatkan orang lain, tentu honor orang tersebut juga harus dihitung.
Pengalaman saya sendiri mendapat order dari banyak lembaga dan perorangan, meski kontrak kita hanya membuat dan tidakmenjadi pengelolanya namun kalau ada masalah dengan website, tetap juga kita yang akan dihubungi oleh klien. Padahal kerusakan atau masalah itu sebenarnya sudah bukan urusan kita lagi.
Ya, di awal menekuni jasa pembangunan website saya pernah punya banyak pengalaman seperti itu. Waktu itu saya masih menerapkan harga minimal untuk jasa membangunkan orang lain website.
Misalnya suatu ketika saya diminta oleh seorang tokoh politik untuk membuat website dengan domain nama dia. Saya mengajukan dua penawaran, yakni; pertama tawaran hanya menyewakan hosting dan membuatkan website. Karena waktu itu ongkos sewa domain dan hosting masih belum sampai 500 ribu, maka saya tawarkan biaya sekitar 1 juta.
Saya pikir lumayan sudah lebih dari Rp.500 ribu saya untung. Paling paling dalam semalam saya kerjakan website sudah online.
Penawaran kedua adalah pembuatan sekaligus pengelolaannya. Maka saya tawarkan harga yang juga minimal, yakni kalau tidak salah biaya pembuatan website Rp.1 juta ditambah biaya bulanan juga Rp.500 ribu. Boleh dibayar bulanan (tiap bulan Rp 500 ribu) atau sekaligus Rp.500 ribu x12 bulan = Rp. 6 juta totalnya Rp.7 juta. Bahkan kalau gak salah saat itu saya tawarkan korting biaya pembuatan sehingga hanya 12 bulan yang dibayar yakni Rp.6 juta.
Mungkin karena melihat angka 7 atau 6 juta tadi, si politisi memilih paket pembangunan website saja, tanpa pengelolaan. Setelah disepakati saya diberi uang muka separuh harga yakni Rp. 500 ribu.
Beruntung saya ketemu paket hosting murah sekitar Rp.350 ribu. Space tak terlaku besar, tapi tak mengapa saya pikir. Paling -paling website pribadi hanya memuat data profil dan beberapa kegiatan sang politisi. Ada sisa uang Rp. 150 ribu lumayan buat beli kopi dan camilan untuk menemani saya begadang menginstal CMS (script website) di server dan merancang (modifikasi) tampilan website sesuai selera klien.
Selesai website dikerjakan dan domain sudah aktif (online), saya buatkan tutorial agar si politisi bisa mengelola dan mengupdate sendiri websitenya. Sebenarnya ada saja sih tutorial gratisan, namun sengaja saya buatkan sendiri sesuai kondisi website beliau agar mudah difahami.
Saya pikir semua sudah selesai. Saya tinggal menikmati keuntungan yang Rp.500 ribu untun keperluan saya. Ternyata tidak. Kerepotan saya tidak hanya sampai disitu. Selain kemudian sisa pembayaran juga lama baru dilunasinya, setiap ada kegiatan selalu dikirim kesaya dengan narasi “minta tolong dimasukan ke website”.
Walhasil, saya yang suka sungkan ini, sulit untuk menolak. Padahal permintaan update isi web ini sebenarnya bukan lagi menjadi tanggung jawab saya.
Dasar tak jera, di lain kasus saya juga “lemah hati” dan nggak tegaan, sehingga dengan harga minimal tetap direpotkan dengan aneka permintaan klien yang diluar kewajiban. Mulai dari perubahan tampilan (tema), kendala pengelolaan, hingga adanya serangan hacker.
Berkaca dengan pengalaman-pengalaman tersebut, kemudian saya memberanikan diri mematok harga yang wajar sebagaimana yang dilakukan beberapa rekan sesama web developer. Saya mulai dengan harga penawaran Rp.2,5 juta hingga Rp. 4 juta khusus untuk pembangunan web standar.
Namun beberapa kali saya, merasa seperti tertuduh ketika ada klien yang mengayakan saya memasang harga terlalu tinggi. Rupanya setelah beberapa waktu habis order website dengan saya, ada orang yang memberitahu dia bahwa paket hosting seperti yang saya berikan kepada dia harga kontraknya hanya sekitar R.500 ribu peetahun.
Menghadapi klien yang sedikit mengerti teknologi mungkin saya mudah saja memberikan pemahaman bahwa yang saya jual itu adalah proyek pembuatan website lengkap dengan keamanannya bukan sekedar menjadi makelar domain atau hosting.
Namun kadang ada juga klien yang tidak memandang pekerjaan kita yang juga bermodalkan tenaga, filiran dan ilmu pengetahuan. Mereka hanya melihat modal nominal yang sekitaran Rp. 500 ribu itu. Maka walau tidak menuduh secara vulgar, gaya bicara dan sikap mereka mengesankan bahwa mereka mengatakan saya sudah memperalat atau menipunya “Barang murah kok dijual mahal ke saya,” begitu seolah mereka berkata.
Nah, mungkin ini sedikit sharing pengalaman sebagai web developer pemula. Mudahan bisa menjadi bahan masukan buat kawan-kawan yang ingin terjun ke dunia pembangunan website. Paling tidak anda bisa menyiapkan argumen dan edukasi yang bisa memberikan pemahaman serta kesadaran klien sebelum mereka benar-benar memakai jasa kita. Supaya nantinya tidak ada salah faham dan fitnah.
Oya, ada tambahan lagi. Dari beberapa klien yang “kecewa” tadi ada juga yang kemudian meminta kepada saya agar tahun depan mereka mengelola sendiri websitenya. Nah, disini tentu akan menjadi dilema tersendiri, karena sebenarnya domain dan hosting itukan adalah hak kita?Nama kita yang terdaftar ke penyedia hosting.
Kalau mereka mau menguasai domain itu semestinya ya harus menunggu kontrak/sewa yang atas nama kita habis dan tidak kita perpanjang. Kalau kita tidak mau menyerahkan domain kepada mereka itu adalah hak kita dan mereka tidak bisa memaksa.
Mengapa? Karena domain itu terdaftar atas nama kita, apalagi bila alamat domain tersebut belum ada yang mempatenkan. Meskipun nama domain itu sama dengan nama individu atau nama perusahaan yang mengorder pembangunan website kepada kita.
Nah, untuk ini kita harus pandai-pandai menyampaikan pemahaman supaya mereka paham bahwa:
1) Kata beli dalam hosting dan domain itu berarti sewa atau kontrak bukan beli untuk dimiliki selamanya.
2) Bahwa pembelian domain yang klien nya “tahu beres” (biasanya) nama pemilik (penyewa) yang terdaftar adalah si pembuat website (web developer) bukan klien yang memesan website.
Jadi, membeli website tidak sama dengan membeli domain atau hosting. Membeli website berarti anda membeli (tepatnya menyewa) beberapa hal, mulai dari jasa pendaftaran, jasa pembuatan, jasa desain grafis, bajkan jasa perawatan dan penjagaan.
Demikian pula bagi seorang pembuat website jangan hanya memikirkan berapa harga hosting atau domainnya saja. Anda hatus menghitung berbagai hal di luar itu bila tidak ingin merugi. Ya, kecuali memang tujuannya bukan berbisnis tapi hanya sekedar menyalurkan hobi atau menolong orang lain dengan ikhlas. (Asya)