
“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa”
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut terasa sangat relevan sekali di jaman ini. Disaat kita bingung dengan kondisi politik bahkan kehidupan beragama yang sedang terjadi, dimana baik dan buruk sering sekali menjadi samar karena argumentasi yang “indah” oleh para tokoh pembela kelompok masing-masing.
Ya, kadang narasi yang disampaikan oleh para pelaku “debat publik” begitu meyakinkan dengan aneka argumen yang membingungkan. Bingung mana yang benar dan mana yang salah. Kita menjadi galau lalu tak tahu harus memihak kemana. Sementara kondisi mengharuskan diri untuk tidak boleh netral.
Soal isu besar konspirasi dibalik pandemi Corona di dunia, kebangkitan PKI hingga yang lokal seputar pemilihan kepala daerah, semua berseliweran di beranda media sosial kita. Semua kelompok dan kubu saling tuduh sekaligus saling membela diri masing-masing, menyampaikan aneka propaganda dengan susunan bahasa yang sama-sama meyakinkan.
Sebagian orang mungkin langsung terpengaruh dan memilih salah satu pemahaman secara fanatik dan militan. Namun tak kurang banyaknya orang yang justeru menjadi bingung karena merasa semua argumentasi masuk akal sehingga sulit memutuskan mana yang bisa dipercaya.
Dari kebingungan ini akhirnya paling sedikit (bisa lebih) menumbuhkan dua sikap. Pertama nekad memilih satu hal meski belum yakin benar, dan yang kedua malah tak mau ikut-ikut dan berakhir dengan sikap apatis,tak mau tahu. Bagi keduanya, sikap diambil bukan karena keyakinan namun justeru karena bingung.
Nah, mungkin di kondisi seperti inilah saatnya kita meminta fatwa pada nurani kita. Saatnya hati kecil berbicara dan kita mendegarnya dengan seksama. Saat logika sudah sulit membedakan mana yang lebih masuk akal serta orang yang kita anggap pakarnyapun saling sersilang pendapat dengan membingungkan.
Bila nurani merasa tentram dengan pilihan sikap kita maka itu salah satu tanda benarnya pilihan itu. Namun bila nurani berontak, perasaan ada yang mengganjal. Hati berkata bahwa pilihan kita membawa banyak mudharat, bahkan bisa merugikan orang banyak, itu tanda-tanda ada yang kurang beres dengan kenyataan yang kita rasakan.
Wallahu a’lam
Samarinda, 16/6/20
Penjelajah Waktu