Korban yang Terfitnah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Pernah mengalami dikhianati (ditipu) bahkan kemudian difitnah dalam sebuah urusan? Saya pernah. Lebih tepatnya istri saya yang mengalami langsung dan saya sebagai suami tentu dipermalukan dan merasa dirusak nama baik saya.
Ceritanya begini:
Saya berkawan baik dengan seorang pengusaha. Dibilang pengusaha kecil juga tidak karena saya lihat dia punya beberapa bisnis skala besar. Namun dibilang pengusaha sukses juga belum, mengjngat bertahun-tahun saya lihat usahanya jalan di tempat saja.
Kebetulan ia memiliki sebuah gedung tempat usaha yang disitu juga berkantor sebuah lembaga bantuan hukum. Konon sih LBH tersebut cuma numpang gratis (tidak bayar sewa). Ya bisa dibilang simbiosis mutualisme (kerjasama saling menguntungkan).
Mungkin bisa dibilang mereka diberi tempat gratis buat ngantor namun di lain sisi mereka memberikan backup atas urusan-urusan hukum yang mungkin dihadapi perusahaan kawan saya ini.
Nah, dari LBH inilah kasus istri saya bermula.
Suatu ketika adik ipar saya (saudara istri) mengalami penganiayaan. Singkat cerita kawan pengusaha tadi menawarkan agar diurus secara damai saja dengan dimediasi oleh LBH yang ada di kantor dia.
Ketika itu keluarga istri saya menyambut baik. Mereka juga merasa tidak perlu membawa kasus tersebut ke ranah pidana selama pihak pelaku memiliki ittikad baik untuk berdamai dan memberikan ganti rugi yang pantas buat korban.
Maka kemudian pihak keluarga diwakili oleh saudara tua korban melakukan kesepakatan kerjasama dengan LBH yang ngantor di gedung milik kawan saya tadi.
Awalnya semua urusan berjalan lancar termasuk tentang pembagian uang ganti rugi, dimana disebutkan oleh kawan saya dan pengacara LBH bahwa nanti uang ganti rugi tersebut akan “dibelah semangka” (dibagi dua antara LBH dengan pihak korban).
Urusanpun berjalan beberapa hari ditangani oleh LBH, hingga suatu ketika saya dihubungi agar ke kantor LBH karena pihak pemberi kuasa (adik ipar saya) bekerja di luar kota sehingga berhalangan untuk mengambil pembagian uang ganti rugi di kantor pengacara (LBH).
Lantara saya juga saat itu sedang sibuk dan merasa tidak ada kaitan langsung dengan korban, maka saya suruh istri saya untuk mengurusi semua itu karena meski kemarin yang menandatangani surat kuasa adalah saudaranya yang laki-laki, namun paling tidak dia juga saudara tua (kakak) dari korban.
Maka dengan tidak “tahu apa-apa” istri sayapun berangkat ke kantor LBH. Awalnya sebenarnya dia tidak mau karena merasa tidak tahu urusannya, namun setelah saya jelaskan bahwa dia tidak perlu menangani urusan rumit apapun, tinggal datang ke kantor LBH dan menerimakan uang ganti rugi sesuai kesepakatan, sudah. Setelah itu ia bisa pulang dan menyerahkan uang tersebut  kepada korban.
Akhirnya istri sayapun berangkat ke kantor LBH. Dari kantor LBH kemudian saya ditelpon dan diberi penjelasan oleh teman saya si pengusaha bahwa uang ganti rugi akan dibagi tiga. Masing masing satu bagian untuk korban, satu bagian untuk LBH dan satu bagian lagi untuk pemilik gedung (kantor) dengan argumen bahwa pemilik gedung juga beresiko dengan urusan mediasi kasus penganiayaan tersebut.
Meski sempat kaget dalam hati, namun saya segera mengiyakan saja semua yang disampaikan oleh kawan tersebut. Saya sempat heran, mengapa kok jadi dibagi tiga, padahal awalnya dia sendiri yang bilang “belah semangka” dimana selama ini yang namanya belah semangka itu artinya bagi dua. Ah, mungkin saya yang salah paham. Mungkin maksudnya semangka dibela tiga, pikir saya melucu.
Maka kemudian sayapu  tidak memikirkan lagi soal pengambilan uang ganti rugi tersebut. Saya sibuk dengan pekerjaan saya sendiri. Apalagi kan sudah ada istri saya yang menerimakan uang untuk adiknya yang menjadi korban. Kebetulan juga mertua saya baru saja datang dari tanah hulu, karena mendengar terjadinya kasus penganiayaan tersebut.
Sibuk dengan berbagai urusan seharian membuat saya tidak bertemu dengan istri. Baru malamnya saya pulang ke rumah dan tidak banyak bercerita soal ganti rugi tersebut. Saya juga nggak banyak tanya, karena saya pikir urusan adik ipar tersebut sudah selesai dan mungkin uangnya juga sudah diserahkan istri kepada mertua.
Kalau tidak salah baru sehari kemudian saya mendapat telpon dari teman saya si pengusaha yang menanyakan berapa jumlah uang yang diterima istri saya saat penyerahan ganti rugi kemarin. Karena tidak sempat bertanya (dan istri saya juga belum sempat bercerita banyak karena sibuk dengan kedatangan keluarga dari tanah hulu), maka saya menyampaikan ya sesuai kesepakatan kemarin.
Namun menurut teman saya tersebut, bahwa istri saya menerima lebih dari yang seharusnya diterima. Menurut dia pihak LBH memberikan lebih karena keluarga kami meminta untuk dilebihkan.  Sontak saya kaget, mengapa ada keluarga yang ikut campur lagi urusan ganti rugi sementara urusan sudah diwakilkan kepada istri saya.
Ketika saya tanya balik kepada kawan tersebut siapa yang meminta tambahan dia mengaku tidak tahu. Saya tanya lagi orang  (keluarga) yang meminta itu laki-laki ataukah perempuan? Dia bilang laki-laki.
Sedikit lega saya, berarti bukan istri saya yang meminta, karena istri saya kan perempuan.
Maka saya minta sang pengusaha (pemilik gedung) untuk mengirimkan foto tanda terima (kwitansi) uang tersebut supaya saya bisa memastikan, keluarga yang mana yang lancang memasuki urusan yamg semestinya sudah menjadi urusan istri saya.
Namun betapa terkejutnya saya ketika kwitansi yang dikirim bertuliskan nama dan tandatangan istri saya, bukan nama laki-laki sebagaiman yang dikatakan si pemilik gedung awalnya.  Jelas dalam hal ini, sengaja atau tidak dia sudah berbohong. Katanya tadi laki-laki yang meminta dan menerima  tambahan ternyata kok malah istri saya yang notabene adalah perempuan.
Saya jadi bingung antara percaya dengan ucapan teman tadi atau percaya dengan keterangan istri saya yang setelah saya tanya mengatakan bahwa ia tidak pernah meminta tambahan. Apalagi sejak awal ia tidak tahu bagaimana urusan kerjasamanya. Ia hanya menerima apa yang diberikan pihak pengacara LBH. Dan memang LBH memberikan lebih dari jumlah yang disebutkan teman saya dengan alasan pihak LBH merasa kasihan pada korban penganiayaan yang cuma mendapat sedikit (sepertiga).
Terus terang saya percaya dengan pernyataan istri saya karena selain secara logika saja ia cuma tahu terima dan tidak tahu bagaimana kesepakatan awal, selama menjadi istri saya tidak pernah ia curang urusan uang. Uang saya yang ketinggalan di kantong baju atau celana yang sedang dia cuci saja selalu dikembalikan kepada saya utuh. Apalagi uang gantirugi yang bukan untuk pribadi dia tapi milik korban.
Bahkan pasca penganiayaan hingga perawatan saja dia yang mengurusi korban ke rumah sakit. Belum lagi rekam jejak dia yang selama ini (insya Allah) lumayan dermawan dan sering mengalah soal harta kepada orang lain. Rasanya mustahil untuk urusan “sekecil ini” dia berlaku curang.
Tapi sebagai manusia yang ingin kebenaran saya tetap melakukan berbagai upaya termasuk mengecek kebenaran keterangan kedua pihak. Maka saya minta adik ipar saya yang kemarin menyerahkan hak kuasa kepada LBH untuk menelpon LBH tersebut dan menanyakan bagaimana bisa ada penambahan uang hingga lebih dari sepertiga. Ya walaupun sebenarnya ucapan awal “belah semangka” tapi okelah, kita pegang ucapan yang disampaikan pemilik gedung soal bagi tiga.
Dari rekaman telpon adik ipar saya dengan orang LBH terungkaplah bahwa sebenarnya pihak istri saya maupun keluarganya tidak pernah meminta tambahan uang meskipun pembagian yang diputuskan si pemilik gedung (teman saya) tidak sama dengan pembicaraan awal. Penambahan itu ternyata murni karena rasa kasihan pihak LBH.
Yakin bahwa istri saya tidak bersalah dan hanya menjadi korban fitnah, saya tidak serta merta lalu ngotot tidak mau mengembalikan uang tersebut. Karena kawan saya (pemilik gedung) tersebut mengatakan bahwa LBH yang mengatakan bahwa pihak keluarga istri saya yang meminta tambaham, maka saya tegaskan bahwa itu tidak benar dan kemungkinan LBH berbohong kepada si pemilik gedung.
Namun jawaban yang saya terima cukup mengejutkan. Mengejutkan karena tidak nyambung. Dimana setelah saya sampaikan fakta sebenarnya teman tadi menjawab bahwa dia dan LBH punya proyek besar dan ia tidak mau hubungan dia dengan LBH rusak.
Saya jadi bingung… Pasalnya.saya tidak pernah meminta dia mutuskan hubungan kerjasama dengan LBH. Tidak ada urusan saya soal itu. Saya hanya menyampaikan fakta bahwa istri saya ataupu  keluarganya tidak pernah meminta tambahan uang. Mereka tidak bersalah… Itu saja.
Maka karena jawaban WA si pengusaha ini semakin tidak nyambung, saya berhenti memberikan penjelasan dan mengurungkan niat mengirimkan rekaman pembicaraan telepon pengakua orang LBH  bahwa memang inisiatif melebihkan uang  adalah dari mereka sendiri.
Saya pikir pernyataan si kawan ini bahwa dia tidak mau rusak hubungan kerjasama ratusan milyar dengan LBH sudah menjadi isyarat bahkan merupakan pernyataan terang-terangan bahw ia lebih memilih “rusak” hubungan pertemanan dengan saya karena saya tak punya potensi finansial apa-apa terhadap bisnis dia.
Maka, saya putuskan kemudian untuk menerima pernyataan dia yang tak perduli siapa yang benardan siapa yang salah itu, karena mungkin yang lebih penting bagi dia adalah proyeknya yang ratusan milyar itu.
Namun demikian (sekali lagi) demi harga diri. Saya sampaikan kepada dia bahwa saya bertanggung jawab dan akan mengembalikan kelebihan uang yang dianggap bukan hak korban. Dan hebatnya, ternyata si pengusaha pemilik gedung inipun mengiyakan.  Dengan respon dia yang mengiyakan pengembalian dana ini makin menguatkan keyakinan saya bahwa dia memang menganggap kami yang bersalah.
Tidak mengapa, pikir saya. Yang penting Allah Maha Tahu dan kami punya bukti jelas bahwa memang kelebihan uang yang diterima istri saya saat itu benar-benar atas inisiatif LBH bukan karena permintaan keluarga apalagi oleh istri saya. Na’udzubillahi min dzalik.
Besoknya, di hari yang dijanjikan, saya datang ke kantor LBH dengan membawa sejumlah uang dimaksud. Meskipun sebelumnya melalui saluran telpon dan WA pihak LBH sudah menyampaikan kepada saya agar tidak perlu mengembalikan uang dimaksud saya tetap bersikeras mengembalikannya demi harga diri keluarga.
Ya, walaupun saya ini hanya seorang guru dengan gaji pas-pasan, bukan pengusahan beromset ratusan milyar, namun saya masih punya kemampuan menyiapkan uang sejumlah kelebihan yang diberikan LBH kepada istri saya kemarin. Kami bukan orang rakus harta… Insya Allah.
Namun di hari tersebut si pengusaha tidak datang ke kantor LBH yang juga berada di kantor dia tersebut. Dia hanya berkomunikasi dengan kami (saya dan ketua LBH) melalui telepon. Intinya dia meminta LBH untuk mewakili dirinya menerima uang pengembalian tersebut. Jujur saya merasa.sangat diremehkan,  untuk urusan sepenting ini dan menyangkut harga diri dia tidak datang.
Dan entah betulan  ataukah sandiwara, pihak LBH di depan saya menyampaikan penolakan untuk mewakili dengan alasan mereka sudah menyerahkan uang itu secara resmi kepada istri saya. Sempat ada adu argumen sedikit antara mereka hingga akhirnya si pengusaha menyampaikan bahwa; ya sudah tidak usah dikembalikan saja uangnya.
Sebenarnya berat hati saya untuk membawa kembali uang tersebut. Namun karena pihak LBH ngotot bahwa uang adalah hak korban dan mereka tidak mau menerima kembali
Akhirnya uang itu saya bawa pulang dan benar-benar saya kembalikan kepada korban.  Dan hingga hari ini kasus ini terusterang masih menjadi ganjalan di hati saya.
Satu hal yang saya sesali saat ini. Mengapa tidak saya tinggal begitu saja uangnya… Ya, tapi entahlah… Saya dalam kondisi sangat bingung dan tidak siap mental mungkin menerima perlakuan dari seorang kawan yang selama ini saya kira sangat baik. Tak disangka ternyata demi harta dia rela menjebak kami dan mempermainkan harga diri serta nama baik kami.
Semoga ini menjadi pelajaran yang berharga keluarga dan keturunan saya. Bahwa benar perkataan sayidina Umar kalau kita belum bisa menilai baik atau buruknya seorang teman kalau belum berurusan masalah uang (harta) dengannya.
Wallahu a’lam

www.abdillahsyafei.com 2022