Kedamaian yang Sejati

Robbku menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, “Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu.pejuang-intifadhah-palestina hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Saudara dan kerabatku yang kucintai karena Allah…

Kita memang wajib menjaga kedamaian, menghindari konflik, dan menumbuhkan kerjasama dengan seluruh umat manusia. Kita wajib mengajak semua orang untuk bersama-sama mengerjakan kebaikan, menghindari keburukan dan berkolaborasi membangun masyarakat yang aman. Kita juga boleh mengejar harta duniawi untuk kemakmuran dan kesejahteraan kita.

Namun kita juga harus sadar, bahwa tidak semua orang berittikad yang sama, menjaga toleransi dan bersikap tenggang rasa. Ada para ‘pecinta’ kekerasan, ada para penjahat yang menebar kekejian, banyak pelaku maksiat dan kedzoliman. Mereka tak mungkin (sulit) diajak untuk menciptakan lingkungan yang baik dan harmonis dalam dunia ini, kecuali jika telah bertaubat. Maka pertentangan dan konflik antara kebaikan dan kejahatan akan terus berlangsung di muka bumi ini sepanjang jaman.

Jadi, jika yang dimaksud kedamaian itu adalah hidup tanpa konflik, maka kedamaian tak akan pernah bertahan lama. Jika yang dimaksud kedamaian itu adalah hidup yang selalu berkecukupan, maka kedamaian juga tak akan pernah kita temukan. Apalagi jika yang dimaksud kedamaian itu adalah hidup tanpa ujian dan cobaan, mustahil manusia akan memilikinya.

Damai itu bukan hidup tanpa konflik. Damai itu bukan kaya raya tanpa pernah mengalami kesempitan rejeki. Damai itu bukan pula tanpa ujian dan cobaan. Damai itu adalah ketika hati menjadi tentram sebab keimanan yang kuat lagi mendalam. Damai itu adalah ketika aqidah kokoh tertancap dalam pribadi seorang hamba. Karena dengan aqidah yang kuat ia akan ikhlas menerima segala fenomena yang terjadi dalam kehidupannya.

Damai itu adalah ketika apapun yang terjadi dapat kita sikapi dengan sikap paling baik, lalu kita menjadikannya ladang amal dan penguat keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Damai itu adalah ketika batin kita selalu terpaut ada-Nya meski apapun yang menimpa fisik jasmani kita.

Damai itu adalah ketika dunia tak bisa mempengaruhi jiwa kita yang selalu ikhlas dan qona’ah dengan ketentuan-Nya. Ketika manusia telah menjadikan akhirat sebagai tujuan utama amaliahnya lalu keridhaan Allah lah yang sibuk ia kejar dan ia perjuangkan.

Damai, adalah ketika manusia tetap melaksanakan ikhtiar duniawinya secara maksimal sementara hati dan keimanannya berserah secara mutlak hanya kepada Rabb nya yang ia yakini, Ia ta’ati, dan ia jadikan tujuan seluruh perjalanan hidupnya.

Memang tidak mudah mencapainya, namun kita tak punya piihan lain kecuali harus melangkah (bahkan meski harus dengan tertatih sekalipun) untuk semakin mendekat… mendekat… mendekat dan terus mendekat kepada-Nya. Dan ini adalah perjuangan yang tidak pernah berhenti hingga batas usia memutus nafas dan denyut nadi kita.

Kerabat dan sahabat… Mari kita renungkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berikut ini:

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bila aku amalkan niscaya aku akan dicintai Allah dan manusia.” Rasulullah Saw menjawab, “Hiduplah di dunia dengan berzuhud (bersahaja) maka kamu akan dicintai Allah, dan jangan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya kamu akan disenangi manusia.” (HR. Ibnu Majah).

Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain.” (HR. Ath-Thabrani)

Semoga Allah Yang Menggenggam jiwa kita, menjadikan jiwa itu selalu dalam kecintaan kepada dan oleh-Nya. Sehingga kita tak merasa ada hal lain yang lebih penting selain mendekatkan diri dan mencari keridhaan-Nya. Lalu kita lebih asyik dalam kegigihan beribadah kepadanya dengan segala sarana yang bisa kita gunakan. Maka sakit dan senang secara duniawi bukanlah hal berarti yang bisa menganggu keimanan kita… Aamiin

Wallahu a’lam

Samarinda 13 Juni 2015
Abdillah Syafei

www.abdillahsyafei.com 2022