Guru Jadi Penulis? Yang Penting Pede

Menulis sebenarnya adalah aktifitas harian para guru, namun sayangnya masih sedikit diantara kita yang memiliki kemampuan membuat tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, atau minimal artikel pendek untuk dipublikasikan di media masa.
Kenapa bisa begitu? Ini merupakan pertanyaan yang selalu berkecamuk bahkan di kepala para guru itu sendiri.
Berdasar pengalaman pribadi, saya merasakan sendiri bagaimana ‘sulitnya’ hanya untuk sekedar menuliskan sebuah alinea pendek. Dan kendala sesungguhnya bukanlah ketidakmampuan menulis, tapi lebih pada ketidak ‘pede-an’ untuk memulainya.
Artinya, keengganan yang dimulai dari ketidakyakinan akan kemampuan sendirilah yang menyebabkan kita kemudian tak menghasilkan sekalimatpun tulisan. Padahal saat berbicara (terutama di depan kelas) seorang guru dapat melakukannya dengan lancar, panjang lebar, dan tanpa beban sama sekali.
Bahkan saat tidak menguasai materi yang diajarkan sekalipun seorang guru tetap dengan tenangnya mengajar di hadapan anak muridnya. Pokoknya, pede sekali (hayo ngaku saja! He..he)
Itulah  realitanya kan?
Nah, coba kita renungkan. Jika soal berbicara, kita bisa melakukannya dengan panjang lebar, mengapa pembicaraan tersebut tidak kita tulis saja? Bukankah kita sudah belajar merubah bahasa lisan ke dalam tulisan semenjak TK dan Sekolah Dasar?  Ini yang sering tidak kita sadari.
Mungkin sebagian guru berdalih; “Wah bahasa lisan kan beda dengan tulisan. Susunan kata dan kalimat bahasa lisan tidak sama.”
Oke. Sekarang bagaimana jika bahasa lisan itu kita rekam, lalu ditranskrip kembali? Nah, kalaupun ada pemakaian tata bahasa yang tidak sesuai aturan, tentu dapat diedit kemudian guna mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Iya nggak?
Malah kalau dipikir-pikir;  sesungguhnya jika sudah dibiasakan, maka menulis jauh lebih mudah dan lebih aman dari berbicara. Kok Bisa? Ya, iyalah…Masa ya iya dong… Kalau tulisan salah masih bisa diedit sebelum dipublikasikan, sedangkan bahasa lisan..? Kalu sudah salah apa mungkin bisa ditarik lagi? Tidak Bisa kan?
Iya… bener juga ya?
Nah, makanya! Sebenarnya sumber kesulitan menulis yang selama ini membuat kita tak mampu mengetik satu kalimatpun hanyalah ketidakpede-an dan ketidakbiasaan. Selebihnya hanyalah faktor-faktor yang tidak terlalu penting.
Saya punya pengalaman membina beberapa wartawan muda di sebuah penerbitan. Rata-rata mereka adalah lulusan perguruan tinggi yang belum bisa menembus tes PNS atau tak diterima melamar di perusahaan swasta. Mereka umumnya masuk menjadi wartawan hanya karena tidak ada pekerjaan lain. Padahal bekal menulisnya sangat pas-pasan, kalau tak mau disebut sangat parah.
Menghadapi para wartawan muda seperti ini saya tidak langsung membebani mereka dengan tugas membuat tulisan yang sempurna. Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa membuat berita atau artikel itu sebenarnya sangat gampang, ada rumusnya.
“Nah yang penting bagaimana kalian mengumpulkan data-data saat melakukan liputan. Data yang perlu kalian dapatkan cuma ini… satu….dua…tiga dan seterusnya” demikian kurang lebih instruksi saya kepada mereka.
“Tapi nanti bagaimana saya bikin beritanya bang?” tanya sebagian mereka.
“Ah, gampang… Serahkan saja sama saya.” pungkas saya mengakhiri rapat penugasan mereka.
Sore harinya mereka datang ke kantor redaksi dengan segala keluh kesahnya. Ada yang kesal karena diusir satpam, ada yang sempat mutar-mutar ,mencari nara sumber tapi tak bertemu, bahkan ada yang bingung karena tidak punya uang bensin ke tempat tugas. Kalau yang terakhir ini nggak perlu kita bahas..
Tapi yang penting satu langkah dari tugas mereka telah terlaksana, yakni mengumpukan data buat berita atau artikel yang akan mereka tulis. Langkah selanjutnya? Tinggal memberikan terapi bagaimana mereka kehilangan sikap tidak pedenya dalam menulis.
Lantas bagaimana saya membuat mereka mampu menulis?  (meski tak terlalu bagus dan tetap bikin editor pusing). Saya tinggal menyuruh mereka menuliskan apa saja yang telah mereka peroleh dalam liputan siang tadi. Saya katakan bahwa jangan pikirkan apakah bahasa yang kalian tulis sudah benar apa tidak. Yang penting data-datanya jangan sampai salah. Memenuhi kaidah 5W+1H. Itu saja.
Hasilnya? Luar biasa. Mereka begitu lancarnya menulis hasil liputannya siang tadi. Bahkan saking ‘lancar’ nya menulis, hal-hal yang tak perlupun bisa muncul dalam tulisan mereka.
Setelah itu? Sebagai redaktur (sekaligus editor) saya tidak lagi membebani mereka dengan tugas yang bikin pusing. Saya hanya katakan; bagus, tugas kalian sudah selesai dengan baik. Sekarang silahkan pulang! Siapkan fisik dan mental untuk liputan besok pagi.
Selesai? Belum! Sebelum mereka pulang saya berpesan agar mereka melihat berita yang telah mereka buat tadi dalam koran terbitan besok. Tapi yang penting nanti perhatikan bagian mana yang saya edit. Itu saja.
Hanya dalam hitungan minggu, rata-rata para wartawan muda ini kemudian mampu menulis dengan lancar meski mungkin belum bisa disebut sangat bagus.
Sekarang hikmah apa yang bisa kita petik dari pengalaman saya tadi? Ternyata wartawan yang tak punya dasar ilmu kepenulisan sekalipun bisa juga menulis asal dilatih dengan metode yang benar.
Kenyataan bahwa kita para guru sebenarnya lebih akrab dengan dunia kepenulisan, semestinya memotivasi kita untuk pede menulis.
Apalagi para guru yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang studi yang mereka ajarkan, tentu akan lebih fokus jika membuat tulisan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka.  Maka… tidak ada alasan bagi para guru untuk tidak bisa menulis.
Kemukakan saja ide saat tangan kita menari-nari di atas keyboard dan inspirasi tengah mengalir deras. Tak perlu takut salah karena toh sebelum dipublikasikan di media massa tulisan itu nantinya masih bisa kita edit. Malah kalau perlu bisa minta bantuan kawan yang lebih menguasai kaidah penulisan (EYD) untuk mengoreksinya.
Saya sendiri tidak merasa tulisan saya paling bagus atau benar. Sebagai guru yang tak punya latar belakang ilmu menulis saya sadar bahwa tulisan saya (termasuk yang sedang anda baca ini) masih banyak kesalahannya. Mulai dari gaya bahasa, pemilihan kata, isi, hingga pemakaian tanda baca. Namun saya beranggapan bahwa jangan sampai keterbatasan itu menyebabkan kita urung menyampaikan ide dan gagasan melalui tulisan.
Kalau saya menunggu sempurna, kapan lagi saya akan menulis? Sampai kiamat?
(Abdllah Syafei)

www.abdillahsyafei.com 2022