Postingan di grup, apakah grup facebook ataukah grup WA selayaknya menyesuaikan dengan jenis atau tema grup. Artinya, kalau mau posting soal politik ya idealnya di grup yang berbau politik. Posting makanan di grup kuliner dan lain sebagainya.
Kadang sebagian kita kurang pas dalam menempatkan selera hati di grup yang diikuti. Grup alumni sekolah misalnya, bila “dibom” dengan postingan berisi kampanye pemilu, akhirnya bisa menimbulkan kegaduhan dan debat kusir, karena tentu belum tentu anggota grup berasal dari kalangan pendukung kubu politik yang sama.
Demikian pula misalnya grup umum yang disitu anggota nya terdiri dari orang-orang dengan latar belakang agama/kepercayaan yang beragam. Memposting soal agama, apalagi menyangkut topik yang kontroversi (khilafiyah), dipastikan akan menyebabkan grup menjadi ajang pertikaian bahkan bully membully secara “kejam”.
Jadi ketika ada anggota grup yang mengusulkan agar anggota lain jangan memposting hal yang di luar tema grup, bukan berarti ia menganggap masalah tersebut tidak penting. Ia hanya tidak ingin hal kontroversi menimbulkan ketidaknyamanan antara sesama anggota.
Sayangnya banyak diantara kita yang kurang mengerti adab atau etika bermedsos. Ketika ia sedang gemar pada suatu permasalahan, lalu dimanapun ia berada, permasalahan itu terus yang dibahas. Ada yang lagi semangat belajar agama lalu di semua grup ia posting soal kontroversi agama.
Ada yang lagi tergila-gila dengan politik kemudian mengkampanyekan tokoh politik pujaannya di semua grup. Pendek kata, mereka tak perduli lagi sedang berada dimana, pokoknya apa yang sedang mendominasi perasaannya selalu itu yang keluar dari lisan maupun tulisan nya. Bila ada yang mengingatkan ia marah dan menuduh orang yang mengingatkan itu telah menganggap remeh urusan yang dia posting.
Coba anda bayangkan, apa yang terjadi bila anda posting soal poligami di grup arisan ibu-ibu? Hampir bisa dipastikan komentar yang berisi caci maki dan sumpah serapah akan berhamburan. Padahal kalau kita bicara hukum agama, maka poligami banyak dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang shaleh. Meski demikian, bukan pada tempatnya mengkampanyekan poligami di grup yang tidak layak. Bukannya para wanita akan mendukung, justeru resikonya ajaran agama (bukan hanya poligami) ikut terlecehkan oleh komentar-komentar emosional.
Pengalaman saya sendiri beberapa waktu lalu, ketika mengingatkan anggota sebuah grup agar memposting hal yang sesuai dengan konteks grup membuat beberapa kawan tidak terima.
Misalnya, pada masa menjelang pilpres lalu ada kawan yang selalu “ngebom” grup alumni kampus dengan kampanye paslon dan hujatan kepada paslon lawan. Saat diingatkan ia malah menuduh kami yang mengingatkannya sebagai orang yang nggak perduli dengan soal politik. Padahal bukan seperti itu, kami juga sangat peduli politik, bahkan sering kami menulis di media dan berbicara dalam banyak pertemuan mengenai politik.
Pernah pula saya membuat sebuah grup WA yang temanya adalah “tazkiatun nafs” (penyucian jiwa) yang mana di dalamnya sudah disebutkan bahwa grup adalah tempat membagikan tulisan motivasi, pengembangan diri dan kata-kata penguat keimanan. Namun ada seorang anggota yang selalu memposting dengan tulisan-tulisan bernuansa konflik dan bantahan-bantahan (bahkan hujatan) terhadap ajaran sesat.
Ketika saya ingatkan soal tema grup, yang bersangutan ngotot bahwa materi yang dia posting adalah hal yang sangat urgen dan tidak perduli dimanapun harus disampaikan. Berulang kali dijelaskan soal tema grup dan adab postingan di dalamnya terus saja dia ngotot. Akhirnya yang bersangkutan saya keluarkan.
Begitulah saudaraku, terkadang perasaan kita begitu mendominasi pikiran sadar dan bawah sadar hingga menyebabkan kita mabuk dengan sebuah kecenderungan dan menjadi tidak bisa berpikir objektif. Ini jelas sebuah ketidakadilan dalam bersikap dan berbuat.
Makanya para ulama mengatakan bahwa “Setiap perkataan itu ada tempatnya dan setiap tempat itu ada perkataannya (yang cocok)” (لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ)
Wallahu a’lam