Kita heran mereka kok sebodoh itu ya? Sudah dijelaskan dengan sangat gamblang disertai bukti dan dalil yang shahih, kurang apa lagi?
Begitu pula mungkin yang mereka pikirkan tentang kita. Mereka juga berasumsi bahwa kita begitu bebal sehingga menolak kebenaran yang mereka sampaikan.
Artinya? Setiap kita menilai kebenaran itu sesuai basic pelajaan (ilmu) yang diajarkan bahkan didoktrinkan oleh guru atau orang tua kita. Ada cara berpikir, dasar pijakan, sikap, hingga standar kebenaran yang memiliki ukuran tidak sama antara kita dengan mereka.
Saudaraku seiman… Pada dasarnya tidak ada manusia yang kepingin tersesat dan masuk neraka. Maka saat terjadi perbedaan pendapat dalam cabang agama (termasuk perbedaan apakah pendapat soal apakah yang kira perselisihkan itu soal cabang atau bukan) maka sikap terbaik kita adalah berlapang dada. Lalu kita memupuk kesabaran untuk menghadapi “kebebalan” saudara yang kita anggap tak juga memahami argumen kita.
Ya, disatu sisi kita jangan berputus asa untuk terus berdakwah menyampakkan kebenaran yang kita yakini, berusaha menyingkirkan ‘syubhat’ yang kita anggap menghalangi pemikiran saudara kita. Sementara di lain sisi kota juga jangan pernah kendor untuk terus memegaskan nilai-nilaimkebenaran yang kota anut.
Perdebatan ilmiah, adu argumen, bahkan perang pemilikiran adalah hal yang biasa dan wajar dalam dinamika dakwah. Yang penting semua disampaikan dengan santun dan pengendalian diri. Ingat bahwa dakwah itu mengajak bukan mengekek, merangkul buian memulul, menyampakkan kebaikan bukan memuaskan emosi, ambisi, dan perasaan.
Dalam dakwah bukan hanya diuji kokohnya argumen namun juga kuatnya mengendalikan ego dan keangkuhan.
Wallahu a’lam
Samarinda, 1 Agustus 2017
JENDELA NURANI
(Abdillah Syafei)