Dalam berpantun dibutuhkan kecepatan respon otak. Yakni menyambungkan antara isi pantun dengan sampiran. Mengapa saya menyebut isi baru sampiran? Karena memang pada dasarnya isi inilah yang seharusnya pertama sekali dipikirkan. Baru dibuatkan sampiran yang saja (bunyi akhirnya) sama dengan isi.
Jadi urutan aslinya adalah menentukan isi dulu, setelah itu disampaikan dengan menggunakan sampiran yang sesuai.
Apakah boleh menyampaikan sampiran dulu baru isi? Tentu saja boleh dan tidak ada larangan. Hanya saja pertanyaannya apakah kita bisa mencarikan isi yang sejalan dengan apa yang sedang ingin kita sampaikan kepada orang yang kita pantun?
Kalau bisa tidak masalah. Tapi bila kita tidak cukup cepat berpikir, maka bisa-bisa apa yang mau disampaikan malah terkesan dipaksakan.
Tapi okelah, kalau bicara pantun sebagai sebuah permainan bunyi dalam berbahasa, itu tidak masalah. Yang penting jadilah sebuah pantun dengan unsur sampiran dan isi yang sesuai sajaknya.
Namun dalam uraian ini saya sedang menjelaskan cara bagaimana membuat sebuah pantun dengan cepat. Oleh karena itu kita harus mengikuti tehnik yang saya buat. Nah, urutan membuat pantun dalam metode ini adalah sebagai berikut:
1) Tentukan isi yang mau disampaikan dalam dua baris kalimat.
2) Usahakan dua baris kalimat ini memiliki akhiran yang berbeda bunyinya.
3) Carikan Sampiran dengan jurus-jurus dasar.
Kalau kita perhatikan langkah kedua di atas, maka ini merupakan sesuatu yang penting dipahami dari dua sisi. Pertama, bila kita memandang pantun dengan teori sastra yang ada, dimana yang namanya pantun adalah bersajak AB-AB, maka bunyi akhir dua baris isi tidak boleh sama.
Kedua, bila kita memandang dari sudut kepuasan telinga pendengar, maka yang penting sebenarnya adalah kesamaan bunyi. Meskipun bersajak AA-AA atau BB-BB, itu tidak masalah.
Makanya saya menggunakan ungkapan “usahakan” karena dalam prakteknya andai anda berpantun dengan sajak AA-AA dimana bunyi ujung dari dua kalimat isi itu sama pun, orang tidak akan menyalahkan. Karena yang penting bagi pendengar adalah kepuasan telinga mereka.
Tapi bila kita memandang dari segi teori pantun, maka tentu salahlah penggunaan sajak AA-AA, karena teori sastranya mengatakan bahwa yang namanya pantun harusnya bersajak AB-AB.
Saya sendiri secara pribadi tidak menyalahkan jika ada orang atau siswa saya yang kalau disuruh membuat pantun lalu menghasilkan karya dengan sajak AA-AA bukan AB-AB. Ya, tentunya karena saya bukan sastrawan teoritis tapi bisa dibilang sastrawan jalanan yang lebih mementingkan apa yang dirasakan oleh telinga pendengar. Mau disebut hasil karya saya itu sebagai pantun ataukah bukan, tidak masalah.
Kecuali untuk kepentingan lomba atau penulisan sastra secara resmi (akademik) tentu saja saya harus rela mengikuti pakem-pakem Satra yang sesuai teori. Ya, karena memang harus seperti itu aturannya. Nggak boleh juga kita bersikao egois.
Kembali ke tehnik belajar membuat pantun.
Jadi kita harus membiasakan otak kita mengkoneksikan antara isi yang lebih dulu dibuat dengan sampiran yang selanjutnya dipasangkan kepadanya. Nah, metodenya tentu dengan jurus-jurus pantun yang ada. Mulai dari jurus mabok, jurus Wiro sableng, jurus travel, dan yang lainnya.
Percayalah, untuk memperoleh kecepatan respon dalam membuat sampiran ini anda tidak butuh latihan keras. Cukup meluangkan waktu sekitar 10 menit setiap harinya itu sudah lebih dari cukup. Dan yang penting lagi, jadikan kebiasaan dalam keseharian kita.
Pendek kata, kalau ada kesempatan berpantun, berpantunlah. Saat ngobrol, saat memberikan sambutan dalam sebuah acara, bahkan saat menulis potingan di media sosial.
Tidak usah malu (dan memang sebenarnya tidak perlu malu) kalau memang ingin menjadi “dewa pantun”. Namanya saja ahli pantun ya tentunya harus banyak berpantun. Dan tifak perlu merasa malu.
Percayalah lebih banyak orang yang senang dan bahagia saat mendengar anda berpantun. Yang penting jangan terlalu lebai dan bisa menyesuaikan dengan kondisi.
Ya, sesuaikanlah dengan keadaan
Ketika ada momen yang bagus buat berpantun, berpantunlah agar otak anda terbiasa mengkoneksikan antara isi hati yang ingin disampaikan dengan sampiran yang diciptakan untuk memperindahnya.
Namun ingat, jangan memaksakan diri dalam berlatih sastra termasuk pantun. Satra itu harus indah dan membuat hati nyaman. Maka lakukan lah dengan cara yang juga nyaman. Kerjakan latihan itu dengan hati senang. Jangan jadikan beban.
Ayo berlatih… Semangat…!!!