Semoga banjir yang merendam beberapa bagian kota Samarinda segera surut hari ini. Kasian sahabat dan kerabat saya yang terdampak banjir ini. Semua menderita, tanpa memandang statuas sosial ekonomi mereka.
Ya, air hanya ‘tahu’ bahwa ia harus mengisi tempat yang rendah, tak perduli apakah itu rumah pejabat ataukah rakyat biasa, ustadz ataukah jamaah, bos ataukah karyawannya, orang shaleh ataukah ahli maksiat. Begitulah sunnatullahNya. Seluruh permukaan bumi ini bisa saja digenanginya selagi jumlah yang tercurah banyak dan penyerap serta penahan alamnya tidak ada.
Samarinda memang “Kampong Aer” (meminjam judul buku cikgu Syafruddin Pernyata). Namun dengan kerusakan lingkungan yang ada “kampong aer” menjadi “kampong banjir.”
Artinya dulu memang air menggenangi hampir seluruh kota tepian ini, namun kita selalu bisa “berdamai” dengan air. Pola kehidupan kita secara turun-temurun sudah secara otomatis menyesuaikan dengan potensi banjir yang memang ada.
Dulu kita punya banyak rawa yang menjadi tempat penampungan air karangmumus sebelum disalurkan perlahan ke Mahakam. Limpahan air di ulu tidak langsung dalam sekejap mencapai muara, ia bermain-main dulu dengan aneka tumbuhan dan ikan rawa sebelum merayap perlahan melewati pusat kota dan akhirnya bergabung dengan aliran sungai Mahakam.
Rumah warga Samarinda yang tinggal di sekitar rawapun juga merupakan rumah panggung bertiang tinggi, sehingga air dengan ‘damainya’ mengalir di bawah kolong.
Apalagi pepohonan di daerah perbukitan dan dataran rendah juga masih menghijau. Memang bukan juga hutan rimba dengan pepohonan raksasa, namun kebanyakan adalah kebun buah dengan tumbuhan keras dan lumayan besar sehingga masih sangat efektif menahan air agar sementara terserap tanah.
Pohon rambutan, langsat, wanyi, rambai dan aneka tanaman buah lainnya begitu mesranya memadukan kehidupan sosial manusia dengan suasana hutan belantara. Apalagi di sepanjang bantaran Karangmumus aneka pepohonan yang biasa tumbuh di rawa masih begitu banyak.
Pohon bungur serta aneka tanaman rumput dan perdu seperti bamban, paridang, karamunting dan lainnya begitu mudah didapati. Bahkan pohon rumbia atau sagu yang begitu rimbun daunnya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari keasrian dan keaslian tepian Karangmumus.
Namun sekarang semua itu tinggal kenangan. Dari perbukitan dan dataran tinggi hingga sampai ke tepian kali, semua sudah ditebas bersih. Hampir semua telah berubah fungsi menjadi lokasi pemukiman dan kaplingan (yang ujung-ujungnya kan juga buat dijadikan pemukiman).
Ada sih pejuang Karangmumus yang hingga saat ini tak kenal putus asa merawat sungai kebanggaan Samarinda ini. Namun perjuangan orang seperti pak Misman Rsu, Krisdiyanto dan kawan-kawanya yang selama ini mengiatkan Gerakan Memungut Sehelai Sampai di Sungai Karangmumus ini, mestinya didukung oleh pejabat dan masyarakat banyak. Jangan sampai beliau dan kawan-kawannya sudah berpeluh-peluh menanam pohon dan memungut sampah, ternyata malah lebih banyak lagi pohon yang ditebas dan sampah yang dibuang oleh orang lain.
Rumah air sudah dirampas dan dibangun sebagai rumah manusia. Jadi sangat masuk akal bila sang air rindu kampungnya (minimak pulang kampung setahun sekali) ia akan masuk bertamu ke rumah-rumah manusia yang berdiri di atas wilayah mereka.
Mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan kondisi kita bisa berdamai dengan air sebagaimana dulu. Memang tidak mungkin menjadikan Samarinda sekarang, kondisinya sama dengan saat banjir belum menjadi momok seperti masa lalu, tapi kita harus yakin bahwa masih ada solusi-solusi baru untuk dinegosiasi dengan sang banjir.
Tentunya menggunakan sistem perdamaian baru dengan lingkungan. Artinya bukan airnya yang disuruh mengalah dengan kita, karena itu tidak mungkin, namun kitanya yang harus menyesuaikan dengan apa maunya air yang pasti selalu hadir dalam debit besar, terutama di saat hujan.
Untuk itu dibutuhkan kebijakan yang cerdas dari para petinggi kita, khususnya mereka yang berkewajiban menangani permasalahan ini. Selain itu perlu dukungan dunia usaha, khusus pengusaha tambang dan peoperti, serta peran serta seluruh anggota masyarakat untuk bersama menjaga kebersihan lingkungannya.
Semoga kita masih bisa “berdamai dengan air” agar kota tepian kembali teduh, rapi, aman dan nyaman. Aamiin
Samarinda 2 Syawal 1441 H
- Gambar dari tribunnews. Foto banjir tahun 2019 lalu.