Dunia ini adalah tempat berkeyakinan dan berbuat (beramal). Nanti semua keyakinan dan amal kita itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tanggung jawab keyakinan dan amal itu kepada Allah, maka kita wajib mengikuti keyakinan dan amal sesuai yang diajarkan olehNya melalui ajaran agama.
Ini adalah prinsip penting agar kita tidak salah visi dan misi dalam menjalani kehidupan ini. Sebab jika prinsip dasar beragama sudah salah akan salah seterusnya. Beragama Islam, berarti penghambaan dan ketundukaan yang total pada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nah, jika “hulu” dari konsep beragama ini sudah “jernih” maka apa yang mengalir kedalam kehidupan manusia, apakah itu keyakinan, cara peribadatan, hingga amaliah dan hubungan sosial akan “jernih” pula. Jika tidak? Percayalah, manusia tersebut akan menjadi penentang agama yang dianutnya sendiri sepanjang hidupnya.
Mengapa begitu?
Karena ia akan beragama berdasar persepsi dan perasaan semata. Ia tidak belajar agama dengan baik, hanya gemar browsing di dunia maya lalu berpersepsi soal agama. Bahkan persepsi itu kemudian dibangun dengan hawa nafsu. Konsep dan hukum agama akan dirasakan seperti apa yang diinginkan. Padahal ia tengah tertipu oleh ketidaktahuannya.
Ketika ada orang yang beragama benar-benar sesuai dengan tuntunan Allah, ia akan menganggap itu kesalahan karena ia menemukan apa yang ditampilkan hukum agama tak sesuai dengan keinginannya tentang agama tersebut.
Ia akan lancang bicara soal agama padahal ia tak memiliki ilmu agama sama sekali. Ia akan gemar nyinyir dan menyindir agama yang ia sendiri mengklaim berada dalan agama itu sendiri. Celakanya, bahkan para ulama yang notabene adalah ahli agama tak dipandangnya sama sekali. Sementara dengan mereka yang anti dengan agama bahkan melecehkan agama ia sangat bersimpati.
Mengapa bisa begini? Ya seperti yang saya sebutkan di atas… Dari awalnya konsep beragama orang tersebut memang sudah rusak. Dan lebih celakanya lagi dia sudah terlanjur apriori serta tak percaya dengan pemuka agama. Andai ia masih menyisakan ‘baik sangka’ sedikit saja kepada para ulama, lalu mencoba mempelajari mengapa para ulama berfatwa, berkata, bahkan berbuat seperti yang selama ini dia anggap SALAH, pasti lambat laut ia akan mengerti dan meninggalkan konsep awal yang sesat itu.
Coba perhatikan, bagaimana kehidupan sehari-hari merek yang suka berbeda faham dan bahkan bertentangan dengan para ulama! Apakah mereka orang shaleh? Walaupun tidak seluruhnya, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak taat beragama.
Hukum-hukum syari’at yang umum saja biasanya mereka tidak mengerjakan tapi kalau bicara soal agama “kalah” para kiyai yang puluhan tahun mondok di pesantren. Kritik mereka kepada para ulama sedemikian pedasnya, padahal kehidupan mereka sendiri jauh dari agama. Misalkan dari segi aurat dan pergaulan dengan lawan jenis saja, mereka umunnya tidak taat. Apalagi bicara hukuk-hukum syaria’at lainnya.
Lalu bagaimanakah kita menyikapi mereka itu?
Ya, bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang butuh pertolongan. Mereka telah tersesat pemikirannya karena tak mau menimba ilmu dari para alim. Jikapun kita tak bisa membantu dengan nashihat karena biasanya orang yang seperti ini suka ngeyel, nggak percayaan dan bahkan meremehkan, maka paling tidak kita doakan mereka agar mendapat hidayah sehingga terbuka selubung gelap yang menutupi hatinya.
Wallahu a’lam
(Syafei Samarinda)