Secara alamiah manusia akan menyampaikan isi hati kepada orang lain dengan suaranya. Bayi memulai komunikasinya dengan dunia luar menggunakan tangisan.
Lambat laun mulai berkembang dengan senyuman dan aneka ekspresi wajah. Dan akhirnya sampailah ia pada puncak kemampuanya untuk berkomunikasi dengan berbicara.
Dari aktifitas berbicara inilah kemudian lahir kesepakatan-kesepakatan bunyi yang disebut bahasa. Bahasa lisan (lidah/suara) inilah yang kemudian menjadi dasar dari aneka alat berbahasa lainnya.
Menulis sendiri pada dasarnya hanyalah mengubah bahasa lisan (suara) menjadi huruf dan angka. Intinya sama: menyampaikan buah pikiran yang semula bersifat ‘ghaib’ (tak tampak) menjadi bisa terdeteksi secara nyata.
Dan kita harus menyadari bahwa setiap manusia bisa saja memiliki pikiran ataupun pendapat berbeda. Bahkan pendapat yang sama sekalipun boleh jadi disampaikan dengan bahasa yang tidak sama pula.
Maka, saat mengungkapkan pikiran ‘ghaib’ kita menjadi sesuatu yang bisa terdeteksi di dunia nyata, kita harus siap menerima dukungan maupun penolakan. Kita harus paham bahwa pikiran kita bisa sejalan bisa pula bertolak belakang dengan pikiran orang lain.
Saat isi pikiran (pendapat) itu berbeda, tidak harus selalu ada salah satu yang benar dan satunya lagi salah. Bisa saja salah keduanya dan bisa pula benar keduanya. Hanya akibat sudut pandang yang berbedalah sehingga terkesan tidak sama.
Maksud saya, sebagai penulis selain belajar menata kalimat dengan baik sesuai kaidah penulisan yang benar kita juga harus mencoba mengulas topik tulisan dengan berbagai sudut pandang sehingga menjadi lebih kaya. Baik lebih kaya pemahaman maupun lebih kaya dalam gaya pengungkapan (bahasa).
Kenyataan bahwa sudut pandang itu bisa berasal dari banyak sisi juga bisa menjadi penguat bagi kita untuk menulis secara jujur versi kita sendiri tanpa harus merasa takut bahwa apa yang kita tulis itu akan mendapat kritik bahkan caci maki dari orang lain.
Yang penting, selama kita sudah berusahan mengulas suatu permasalahan secara objektif serta tidak mudah menghakimi pandangan orang lain, ya kita sebaiknya ‘enjoy’ saja. Tidak perlu merasa takut untuk menulis. Yang penting jangan memaksakan menulis sesuatu yang kita tidak mengetahuinya.
Kembali ke soal “disalahkan”. Intinya dalam belajar/berlatih menulis itu janganlah takut disalahkan, karena selain seperti yang saya katakan tadi bahwa sudut pandang orang itu bisa berbeda, andai kita memang salahpun, maka kritik adalah salah satu hal yang positif untuk perbaikan kualitas ke depannya.
Apalagi kalau kritik itu bukan pada isi tulisannya langsung tapi pada pemaiakan tanda baca, atau kaidah EYD (ejaan yang disempurnakan), maka kritik adalah hal yang bahkan harus dicari bukan dihindari.
Saya sendiri sebagai orang yang mengawali karir kepenulisan secara otodidak sangat menyadari bahwa dalam tulisan saya sering terjadi kesalahan ejaan dan yang sejenisnya. Maka setiap akan menerbitkan buku biasanya saya malah mencari dan membayar orang lain yang khusus mengoreksi tulisan saya itu.
Wallahu a’lam