Agama dan Perasaan

Shalat jum’at diganti dengan dzuhur. Memang saya juga merasakan agak aneh. Aneh karena kita memang tak terbiasa dengan aneka kondisi fiqih, bukan karena kita terlalu kuat iman atau terlalu taat dalam ibadah. Turun temurun kita beribadah secara normal, bahkan sudah tertanam dalam bawah sadar kita hadits Nabi yang mengatakan bahwa jika sampai meninggalkan 3 jum’at maka hati akan dikunci oleh Allah. 

Sehingga begitu takutnya kita kalau sampai melalaikan shalat jum’at.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ 

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali karena meremehkannya maka Allâh akan mengunci hatinya.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain beliau juga bersabda :

 مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ َالْمنَافِقِيْنَ 

Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa udzur maka dia ditetapkan sebagai bagian dari kaum munafiqin. (HR. Thabrani)

Perasaan itu sebenarnya positif karena ia manandakan iman kita yang kuat kepada Allah dan RasulNya serta bentuk ketaatan yang mendalam. Namun, rupanya iman dan ilmu memang harus berdampingan supaya kita bisa menjalankan (mengamalkan) keimanan tersebut sesuai ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala bukan memperturutkan perasaan. 

Jelas sekali dalam dua hadits tersebut bahwa meninggalkan shalat jum’at yang menyebabkan jadi orang munafiq dan terkuncinya hati adalah yang dilakukan karena meremehkan dan tanpa udzur. Artinya akan berbeda hukumnya ketika ada halangan dan udzur, apalagi halangan dan udzur itu sudah difatwakan ulama dan ditetapkan oleh pemerintah. 

Dan diantara udzur yang disebutkan ulama sejak dulu kala adalah sebagaimana dikatakan Al-Mardawi rahimahullah:

وَيُعْذَرُ في تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ وَيُعْذَرُ أَيْضًا في تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Orang sakit diberi ‘udzur untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah tanpa ada perselisihan. Dan juga diberi ‘udzur (untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah) karena khawatir terkena penyakit.” (Al-Inshaaf, 2: 300)

Jadi, yang sakit dan yang sehat tapi takut terkena penyakit merupakan bagian dari udzur syar’i untuk tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah. 

Diantara yang semestinya kita pelajari lalu hayati dari ilmu agama itu adalah sisi lain dari perintah syari’at yang tidak hanya memiliki ancaman terhadap pelanggaran yang dilakukan namun juga sisi kasih sayang Allah dalam bentuk keringanan (rukhshoh) yang Dia berikan kepada hamba yang berhalangan atau dalam kondisi yang tidak memungkinkan melaksanakan ibadah secara normal.

Ya, perasaan tidak biasa dan tidak enak menjalankan keringanan agama  terjadi mungkin karena selama ini kita terlalu sering mengabaikan anugerah rukhsah yang Allah berikan. Saya sendiri dulu  pernah mengalami, saat perjalanan jauh saya tetap berpuasa dan tidak menjamak shalat karena saya pikir toh saya masih mampu saja. Kita seolah merasa bahwa kita selalu mampu, kuat, sehat dan tak butuh permakluman dariNya saat itu.

Padahal, kita sejatinya hanyalah hamba Allah yang sangat lemah yang tiada daya dan selalu berhajat pada keringanan demi keringanan dariNya. Sehingga di lain waktu dalam sebuah tugas dinas ke luar daerah saya terhalang untuk melaksanakan shalat jum’at. Saat saya menelpon salah seorang kiyai beliau menyarankan agar saya mengambil keringan yang Allah berikan untuk menggantinya dengan shalat dzuhur saja. Di lain waktu saya diingatkan oleh ulama agar jagan sombong, kalau Allah sudah memberikan keringanan syukuri keringanan itu dengan menggunakannya. 

Jangan-jangan pula, kita sudah terlanjur beranggapan bahwa shalat dan ibadah kitalah yang menyebabkan Allah masih berkuasa dan diakui sebagai Tuhan hingga saat ini. Atau minimal kita terbelenggu pada prasangka bahwa ibadah dan jamaah kitalah yang masih bisa menahan keluarnya Dajjal dan datangnya hari kiamat?

Na’udzubillahi mindzalik. Jangan sampai kita terlalu menjadikan perasaan, gairah dan semangat kita sebagai dalil dalam mengamalkan agama, sampai-sampai ajaran Allah dan NabiNya pun kita tolak karena tak sesuai dengan nafsu kita.

Ya, merasa nyaman dengan ibadah adalah dambaan orang beriman. Namun mengabaikan aturan (syari’at) dalam beragama bisa menjatuhkan manusia dalam sikap ghuluw (berlebihan) yang justeru bertentangan dengan prinsip agama itu sendiri.

Itulah sebabnya mengapa agama memerintahkan kita mengikuti para ulama, karena mereka (para ulama) adalah pewaris ilmunya para nabi. Jangan ragukan mereka karena dalam soal takut dan taat kepada Allah ulama adalah sebenar-benarnya manusia yang takut padaNya.

Selain itu ulama mujtahid (yang berhak berijtihad) dan mufti (yang berhak berfatwa) dikalau mereka telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam memutuskan  suatu perkara agama, maka mereka mendapat jaminan dari Allah dan RasulNya.

Bila benar ijtihad mereka, maka mereka akan mendapatkan dua pahala diperoleh. Bahkan jika ijtihad mereka salah sekalipun masih juga Allaj berikan satu pahala sebagai balasan atas ikhtiar maksimal mereka dalam menetapkan hukum keagamaan demi kemaslahatan umat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR. Bukhari no. 3609 dan Muslim no. 2214)

Keistimewaan ini berlaku hanya bagi ulama atau qadhi yang memang berkompeten untuk berfatwa. Adapun orang biasa yang hanya bermodal perasaan dan keyakinan tidak termasuk dalam golongan manusia yang masih mendapat satu pahala meski ijtihadnya salah. 

Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan ijma’ ulama, beliau berkata:

قال العلماء : أجمع المسلمون على أن هذا الحديث في حاكم عالم أهل للحكم ، فإن أصاب فله أجران : أجر باجتهاده ، وأجر بإصابته ، وإن أخطأ فله أجر باجتهاده

“Ulama berkata, kaum muslimin bersepakat bahwa hadits ini mengenai hakim yang menguasai hukum Islam. Jika ia benar mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahal kebenaran. Jika salah maka hanya mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihadnya.” (Minhaj Syarh Muslim 12/14,  Dar Ihya’ At-Turast, 1392 H, cet. 2, syamilah)

Mudah-mudahan kita selalu dalam lindungan Allah dan diberi keselamatan baik dalam urusan dunia lebih-lebih dalam urusan agama. Sehingga bisa melewati kehidupan dunia yang fana ini dengan keyakinan, ucapan dan amalan yang diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin

Samarinda, 17 April 2020

📝

www.abdillahsyafei.com 2022